Renata sebenarnya merasa sangat bahagia. Bagaimana tidak, liburan di Pulau Bali bersama keluarga dan orang yang dicintainya adalah kebahagiaan yang rasanya sudah lengkap.
Namun sebagai pencinta kesunyian, Renata terkadang ingin memiliki waktunya sendiri di tempat yang sunyi dan sepi. Renata butuh ketenangan untuk jiwa introvertnya. Tapi sayangnya tak pernah ada yang benar-benar memahami hal tersebut, termasuk Gilang. Si humoris yang banyak bicara dan tertawa.
Renata akhirnya memutuskan pergi ke luar untuk Berjalan-jalan. Ia datang ke tempat penyewaan sepeda dan memilih untuk menyewa sepeda keranjang berwarna cokelat. Dirinya diam-diam pergi mencari tempat yang nyaman untuk menikmati senja di sore hari.
Renata mengayuh sepedanya dengan pelan menyusuri jalan paving block yang di sisi pinggir kirinya langsung disuguhi pemandangan pantai yang sangat indah. Sementara di sisi kanannya ia melewati beberapa tempat makan mewah juga beberapa oleh-oleh.
Meskipun ada beberapa orang yang berlalu lalang, dirinya tetap menyukai suasana tersebut lantaran tak ada satu pun orang yang akan mengganggu ketenangannya.
Baru saja beberapa menit lalu Renata merasakan kedamaian yang diinginkannya. Namun tiba-tiba suara ponsel bergetar dan berdering cukup keras.
Tadinya Renata sudah berniat meninggalkannya di hotel. Mungkin ia lupa lantaran tadi terburu-buru agar tak ada yang tahu kalau dirinya pergi. Renata baru saja menyadari bahwa ponsel tersebut ternyata ada di kantong sweaternya.
“Ahrrg!” sergahnya merasa kesal.
Renata langsung mengambil ponsel miliknya itu. Namun karena sambil mengayuh sepeda, dirinya agak kesulitan untuk dapat meraihnya sampai-sampai ia tak menyadari seseorang tengah menyeberang tepat di depan jalan yang sedang ia lalui. Sontak dirinya pun terkejut dan kehilangan kendali.
Seketika saja Renata menabrak tiang lampu dipinggir jalan tersebut. Tubuhnya tersungkur jatuh bersama sepedanya. Kejadiannya begitu cepat. Seluruh tubuhnya kotor dipenuhi debu. Sementara sepedanya terbentur agak penyok dan rantainya juga putus.
Renata segera membersihkan tubuhnya dari debu. Seorang laki-laki datang kemudian ikut membantu membersihkan lengan sweater Renata yang kotor, “Kamu gak apa-apa?” Tanya laki-laki tersebut.
Renata tetap fokus membersihkan tubuhnya dan juga berusaha untuk bangun. Dengan baiknya laki-laki itu membatunya berdiri.
Ketika Renata menoleh kepada wajah laki-laki itu dirinya terkejut dan hampir tak percaya dengan apa yang bola matanya lihat, “Ditto!” mereka pun saling menatap satu sama lain.
Tak berselang lama, Ditto segera mengalihkan pandangannya ke arah telapak tangan kiri Renata yang lecet dan berdarah akibat tergores oleh batu karena menahan tubuhnya saat jatuh tadi. “Telapak tangan kamu berdarah,” ujarnya memberi tahu.
Suara Ditto mengembalikan Renata ke kenyataan yang tadinya ia sempat terbayang akan suatu hal. Ditto memegang tangan kirinya, “Ini harus segera diobati. Kalau tidak, nanti tangan kamu bisa infeksi.” Lanjutnya. Renata hanya mengangguk mengiyakan perkataan Ditto.
Sementara itu disisi lain Gilang berusaha menghubungi Renata namun tak mendapat jawaban. Tiba-tiba saja sambungannya terputus. Rupanya ponsel Renata jatuh dan mati seketika. Gilang yang sedang berada di hotel pun merasa sangat khawatir. Dirinya mencari Renata kesana kemari.
Ditto mengajak Renata untuk berjalan. Tiba-tiba Renata meringis kesakitan pada lututnya. Saat ditengok ternyata lutut sebelah kiri Renata juga memar. Sepertinya tulangnya terbentur hingga Renata merasakan rasa sakit pada lututnya ketika berusaha berjalan. Sebagai laki-laki, Ditto pun menawarkan punggungnya untuk ditumpangi.
Pada awalnya Renata merasa canggung seraya menelan ludah ketika Ditto menawarkan punggungnya. Tetapi dirinya tak ingin ada perbincangan dan langsung naik ke punggung Ditto.
Tidak ada obrolan apa pun ketika Ditto menggendong Renata sambil menuntun sepedanya juga. Ia berjalan amat tenang, bahkan hingga mereka sampai di sebuah warung makan kecil terdekat.
Ditto menurunkan Renata di kursi panjang dengan meja yang panjang pula di depannya. Setelah meletakan sepeda di pinggir tiang warung, Ditto segera menemui penjaga warung untuk menanyakan kotak obat, “Mbak, teman saya tangannya terluka. Disini ada kotak obat gak?” pintanya kepada wanita pelayan warung.
“oh ada-ada. Sebentar ya saya ambilkan dulu.” Jawab pelayan warung.
Ditto mengambil sebotol air mineral seraya berjalan menghampiri Renata. Tatapan keduanya pun bertemu kembali hingga Ditto duduk di sebelah tempat dimana Renata duduk.
Penjaga warung memberikan kotak obat berwarna putih yang membuat Renata memalingkan tatapannya dari Ditto. Suasana yang canggung dan tak nyaman sedang dirasakan seorang Renata.
Tak banyak bicara, Ditto menarik tangan Renata kemudian membuka tutup botol air mineral yang ia pegang. Dirinya membersihkan luka Renata dengan air tersebut yang awalnya Renata sempat berpikir bahwa air itu untuk Ditto minum. Ternyata tidak.
Renata sedikit meringis merasakan perih ketika air membasuh goresan luka di telapak tangannya tersebut. Meskipun Ditto sudah melakukannya dengan sangat hati-hati.
Ditto sesekali melihat ke arah wajah Renata yang sedang meringis kesakitan. Apalagi ketika Ditto meneteskan obat merah ke lukanya, Renata sempat menjauhkan tangannya sebagai respons dari rasa sakit yang ia rasakan.
Setelah ditutup menggunakan plester, Ditto langsung beralih ke lutut Renata. Ia membasuhnya dengan air juga, kemudian meneteskan sedikit obat merah tanpa menutupnya dengan plester. Itu karena lutut Renata hanya lebam biru saja.
Setelah selesai, seketika Ditto melihat-lihat tubuh Renata untuk memeriksa apakah masih ada luka lainnya atau tidak. Untung saja Renata memakai sweater, jadi hanya telapak tangannya saja yang tergores. Dan meskipun ia memakai celana mini, untung saja hanya lututnya yang terbentur. Itu pun tidak sampai berdarah.
“Makasih ya!” ujar Renata merasa tidak enak hati.
“Sama-sama,” ujar Ditto meninggikan salah satu alisnya.
Ditto meminum sisa air mineral di botol pelasik tadi. Sementara Renata sejak tadi masih saja asyik memperhatikannya.
“Sebenarnya kamu mau ke mana?” Tanya Ditto tiba-tiba membuat Renata sedikit kaget, “a, aku cuma mau jalan-jalan aja,” Jawab Renata.
Ditto tersenyum, “Kamu mau menikmati matahari tenggelam?”
“Kok kamu tahu?” Kata Renata.
Kedua bibir Ditto memperlihatkan senyum yang semakin lebar, “Ternyata kamu memang tidak pernah berubah,” Jawab Ditto.
Mendengar hal tersebut Renata langsung memalingkan wajahnya seraya menghela nafas tanda sedikit kikuk.
Ditto tiba-tiba saja menarik pergelangan tangan kanan Renata mengajaknya berjalan seraya berkata, “Ayo ikut aku,”
Tentu saja Renata pun terkejut dibuatnya dan hampir saja terjatuh, “Aww...”
Ditto baru menyadari lutut Renata masih sakit dan belum bisa berjalan dengan normal. “Eh maaf-maaf. Aku lupa.”
Tawa pun sempat pecah diantara keduanya.
“Emangnya kita mau ke mana sih?” Tanya Renata yang tak dihiraukan oleh seorang Ditto.
Perhatian Ditto teralih ke sepeda Renata yang rantainya putus akibat kejadian tadi. Dirinya berinisiatif untuk memperbaikinya.
Agak lama Ditto mengotak-atik rantai sepeda tersebut. Sampai akhirnya dirinya berkata, “Selesai!” sambil menepuk-nepuk kedua telapak tangannya.
Lalu dirinya membersihkan kedua tangannya tersebut dengan sisa air mineral tadi juga menggunakan beberapa helai tisu. Kemudian Ditto langsung menaiki sepeda tersebut seraya menunjukkan ekspresi wajah yang seolah mengajak Renata agar ikut dengannya.
Dengan kaki yang terpincang-pincang, Renata pun akhirnya menghampiri Ditto. Merasa sudah paham maksud Ditto, ia segera duduk di kursi belakang sepeda.
Ditto meletakan selembar uang di atas meja panjang tadi. Kemudian dia mulai mengayuh sepedanya dengan pelan, “Makasih mbak!” Teriaknya.
Dia akan mengajak Renata pergi entah ke mana.
Suasana sore yang amat tenang. Angin pantai mengalun sejalan dengan kayuhan kaki Ditto membuat Renata merasa nyaman dan ia sangat menikmati suasana tersebut.
“Lihat Dit, Sunsetnya bagus banget!” Kata Renata sambil menunjuk senja dengan jari telunjuknya. Ditto hanya tersenyum ke arah Renata. Dirinya merasa berhasil karena telah membuat seorang Renata merasa senang.
Perjalanan yang cukup damai namun juga agak canggung bagi Renata. Karena Ditto sedari tadi hanya menunjukkan sikap diam namun santai dengan gaya khasnya yang sedikit dingin. Hal tersebut membuat Renata cukup tahu bahwa tidak ada yang berbuah dari Ditto yang selama ini ia kenal.
Ditto membelokkan sepedanya ke arah pantai. Ia membawa Renata menyusuri jalan di atas pasir pantai dengan suguhan sunset yang tampak memuncak indah. Kemudian kayuhan kakinya berhenti di salah satu tempat. Disana ada tumpukan batuan besar juga satu pohon yang tumbuh dengan hanya sedikit daun.
Ditto meminggirkan sepeda cokelat itu di pinggir bebatuan tadi. Lalu ia naik ke atas batunya dan juga membantu menarik Renata untuk ikut naik.
Mereka berdua duduk berdampingan di atas tumpukkan batu yang langsung disambut dengan cahaya jingga sunset yang sudah sedari tadi menyala sangat indah.
Ditto menatap sunset seperti menonton film di bioskop. Entah apa yang ia pikirkan, dirinya tampak fokus menikmati matahari yang akan tenggelam tersebut.
Renata tersenyum senang melihat sunset yang terasa berada sangat dekat dengannya. Kemudian ia menoleh ke arah peria di sampingnya. Ditto sepertinya masih tidak mau mengeluarkan suara sedikit pun. Itu membuat Renata aga bingung dan canggung.
Renata akhirnya memberanikan diri, “Dit, makasih ya! Tempatnya tenang dan nyaman banget,” Ujar Renata memulai perbincangan.
Bukannya menjawab, Ditto malah mengangkat telunjuk ke bibirnya. Ia meminta Renata untuk diam. Bahkan tanpa menoleh ke arah gadis cantik itu. Matanya terus saja fokus ke atas langit seolah matahari jingga itu adalah miliknya.
Renata pun mengerutkan bibirnya sedikit kesal. Akan tetapi tentunya Renata paham bahwa menikmati senja itu memang lebih baik jika tanpa suara.
Beberapa menit kemudian.
Sore telah menelan matahari dari langit dan menjadikan bumi gelap gulita, hingga mengundang sang malam untuk datang. Ditto beranjak dari tempat duduknya hingga kemudian ia meloncat dari bebatuan tadi, “Malam segera datang. Kalau kamu mau disini aja ya gak apa-apa, “ Sindirnya.
“Eh tunggu-tunggu,” sergah Renata sampai lupa bahwa kakinya masih terasa sakit jika digerakkan. Sontak Renata pun hampir terjatuh dan sedikit meringis kesakitan. Ditto langsung refleks membantu memegangi tangannya agak terkejut, “Eh eh,”
Keduanya pun sedikit melepas tawa di bawah langit yang sudah buram tanda malam akan segera tiba.
Ditto mengangkat tubuh kecil Renata dan membantunya duduk di tempat tumpangan belakang sepeda. Hari semakin gelap, mereka segera pergi dari tempat tersebut.
Karena hari masih sore dan malam baru saja datang, jadi mereka pergi ke tempat makan terlebih dahulu. Dan sudah bisa ditebak, suasana ketika sedang makan pun agak hening tanpa perbincangan.
Sepanjang waktu makan Ditto terlihat tak peduli dan bersikap cuek. Tapi terkadang dia agak menunjukkan sedikit senyuman manisnya kepada Renata seolah agak terpaksa. Sedangkan Renata terus saja memperhatikan setiap gerak gerik laki-laki yang sedang asyik menyantap makanan tersebut.
Setelah keduanya selesai makan. Mereka segera keluar dari restaurant karena malam sudah semakin gelap. “Jadi kamu mau dianter ke mana?” Tanya Ditto kepada Renata.
Renata pun memberi tahu dimana letak hotel tempatnya menginap. Hotelnya tidak terlalu jauh dari tempat yang tadi. Jadi Ditto pun bersedia untuk mengantarnya sampai di tempat tujuan.
Di perjalanan tiba-tiba suara ponsel berdering dari saku celana Ditto. Ditto berhenti mengayuh dan menengok ponsel hitam miliknya tersebut. Dirinya segera menjawab panggilan masuk yang entah dari siapa itu.
Ditto pergi menjauh dari Renata yang masih terpincang-pincang dengan wajah lelahnya. Renata hanya bisa memandangi Ditto dari kejauhan yang tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon.
Renata langsung teringat pada ponsel miliknya yang tadi sore berdering di dalam kantong sweater. Renata langsung meraba-raba kantong sweater, namun ia tak dapat menemukannya.
“Mmm... kamu pulang naik taksi aja. Aku ada urusan,” Tandas Ditto yang tanpa Renata sadari sudah ada di hadapannya.
“Aku udah pesan taksi online, sebentar lagi pasti datang. Aku gak akan pergi deh sampai taksinya datang.” Jelasnya.
Renata mengangguk tanda paham. Setelah taksinya datang Ditto langsung membantu Renata masuk ke dalam taksi. Dirinya kemudian memberikan sejumlah uang kepada sopir taksinya. Padahal hotelnya sudah dekat. Seharusnya tak perlu memesan taksi, pikir Renata.
Saat taksinya melaju. Renata menoleh ke arah belakang dan mendapati Ditto yang pergi membawa sepedanya dengan terburu-buru.
Malam sudah semakin larut. Untuk pertama kalinya Renata melupakan semua orang termasuk Gilang yang sudah pasti sedang mencemaskan dirinya.
Taksi pun berhenti di depan hotel. Renata keluar dari taksi dan berjalan masuk ke dalam hotel dengan kaki terpincang-pincang dan wajah yang kusut juga tampak lelah. Dirinya memasuki lift untuk menuju lantai tiga.
Ketika pintu lift baru saja terbuka, sudah terlihat sosok Gilang dengan wajah cemasnya. Di sisi kanannya terdengar tangisan dari ibu Renata yang terlihat mondar mandir khawatir. Rio adiknya pun ada disana.
“Renata!” Ujar Gilang yang melihat Renata lebih dulu. Dirinya langsung memeluk erat tubuh gadisnya tersebut.
Kemudian ibunya segera menghampiri dan langsung memeluk Renata setelah pelukan Gilang baru saja lepas beberapa detik lalu. “Kamu ke mana aja sih? Kami semua cemas,” tanya ibunya.
Kemudian giliran ayahnya yang memeluk tubuh Renata dengan jantung yang berdetak kencang, “Renata gak kenapa-kenapa kok pah,” Ujarnya menenangkan.
Semua orang memang kurang memahami perasaan dan sikap Renata yang penyendiri. Namun sudah dipastikan semuanya sangat menyayangi dirinya.
Namun sebagai pencinta kesunyian, Renata terkadang ingin memiliki waktunya sendiri di tempat yang sunyi dan sepi. Renata butuh ketenangan untuk jiwa introvertnya. Tapi sayangnya tak pernah ada yang benar-benar memahami hal tersebut, termasuk Gilang. Si humoris yang banyak bicara dan tertawa.
Renata akhirnya memutuskan pergi ke luar untuk Berjalan-jalan. Ia datang ke tempat penyewaan sepeda dan memilih untuk menyewa sepeda keranjang berwarna cokelat. Dirinya diam-diam pergi mencari tempat yang nyaman untuk menikmati senja di sore hari.
Renata mengayuh sepedanya dengan pelan menyusuri jalan paving block yang di sisi pinggir kirinya langsung disuguhi pemandangan pantai yang sangat indah. Sementara di sisi kanannya ia melewati beberapa tempat makan mewah juga beberapa oleh-oleh.
Meskipun ada beberapa orang yang berlalu lalang, dirinya tetap menyukai suasana tersebut lantaran tak ada satu pun orang yang akan mengganggu ketenangannya.
Baru saja beberapa menit lalu Renata merasakan kedamaian yang diinginkannya. Namun tiba-tiba suara ponsel bergetar dan berdering cukup keras.
Tadinya Renata sudah berniat meninggalkannya di hotel. Mungkin ia lupa lantaran tadi terburu-buru agar tak ada yang tahu kalau dirinya pergi. Renata baru saja menyadari bahwa ponsel tersebut ternyata ada di kantong sweaternya.
“Ahrrg!” sergahnya merasa kesal.
Renata langsung mengambil ponsel miliknya itu. Namun karena sambil mengayuh sepeda, dirinya agak kesulitan untuk dapat meraihnya sampai-sampai ia tak menyadari seseorang tengah menyeberang tepat di depan jalan yang sedang ia lalui. Sontak dirinya pun terkejut dan kehilangan kendali.
Seketika saja Renata menabrak tiang lampu dipinggir jalan tersebut. Tubuhnya tersungkur jatuh bersama sepedanya. Kejadiannya begitu cepat. Seluruh tubuhnya kotor dipenuhi debu. Sementara sepedanya terbentur agak penyok dan rantainya juga putus.
Renata segera membersihkan tubuhnya dari debu. Seorang laki-laki datang kemudian ikut membantu membersihkan lengan sweater Renata yang kotor, “Kamu gak apa-apa?” Tanya laki-laki tersebut.
Renata tetap fokus membersihkan tubuhnya dan juga berusaha untuk bangun. Dengan baiknya laki-laki itu membatunya berdiri.
Ketika Renata menoleh kepada wajah laki-laki itu dirinya terkejut dan hampir tak percaya dengan apa yang bola matanya lihat, “Ditto!” mereka pun saling menatap satu sama lain.
Tak berselang lama, Ditto segera mengalihkan pandangannya ke arah telapak tangan kiri Renata yang lecet dan berdarah akibat tergores oleh batu karena menahan tubuhnya saat jatuh tadi. “Telapak tangan kamu berdarah,” ujarnya memberi tahu.
Suara Ditto mengembalikan Renata ke kenyataan yang tadinya ia sempat terbayang akan suatu hal. Ditto memegang tangan kirinya, “Ini harus segera diobati. Kalau tidak, nanti tangan kamu bisa infeksi.” Lanjutnya. Renata hanya mengangguk mengiyakan perkataan Ditto.
Sementara itu disisi lain Gilang berusaha menghubungi Renata namun tak mendapat jawaban. Tiba-tiba saja sambungannya terputus. Rupanya ponsel Renata jatuh dan mati seketika. Gilang yang sedang berada di hotel pun merasa sangat khawatir. Dirinya mencari Renata kesana kemari.
Ditto mengajak Renata untuk berjalan. Tiba-tiba Renata meringis kesakitan pada lututnya. Saat ditengok ternyata lutut sebelah kiri Renata juga memar. Sepertinya tulangnya terbentur hingga Renata merasakan rasa sakit pada lututnya ketika berusaha berjalan. Sebagai laki-laki, Ditto pun menawarkan punggungnya untuk ditumpangi.
Pada awalnya Renata merasa canggung seraya menelan ludah ketika Ditto menawarkan punggungnya. Tetapi dirinya tak ingin ada perbincangan dan langsung naik ke punggung Ditto.
Tidak ada obrolan apa pun ketika Ditto menggendong Renata sambil menuntun sepedanya juga. Ia berjalan amat tenang, bahkan hingga mereka sampai di sebuah warung makan kecil terdekat.
Ditto menurunkan Renata di kursi panjang dengan meja yang panjang pula di depannya. Setelah meletakan sepeda di pinggir tiang warung, Ditto segera menemui penjaga warung untuk menanyakan kotak obat, “Mbak, teman saya tangannya terluka. Disini ada kotak obat gak?” pintanya kepada wanita pelayan warung.
“oh ada-ada. Sebentar ya saya ambilkan dulu.” Jawab pelayan warung.
Ditto mengambil sebotol air mineral seraya berjalan menghampiri Renata. Tatapan keduanya pun bertemu kembali hingga Ditto duduk di sebelah tempat dimana Renata duduk.
Penjaga warung memberikan kotak obat berwarna putih yang membuat Renata memalingkan tatapannya dari Ditto. Suasana yang canggung dan tak nyaman sedang dirasakan seorang Renata.
Tak banyak bicara, Ditto menarik tangan Renata kemudian membuka tutup botol air mineral yang ia pegang. Dirinya membersihkan luka Renata dengan air tersebut yang awalnya Renata sempat berpikir bahwa air itu untuk Ditto minum. Ternyata tidak.
Renata sedikit meringis merasakan perih ketika air membasuh goresan luka di telapak tangannya tersebut. Meskipun Ditto sudah melakukannya dengan sangat hati-hati.
Ditto sesekali melihat ke arah wajah Renata yang sedang meringis kesakitan. Apalagi ketika Ditto meneteskan obat merah ke lukanya, Renata sempat menjauhkan tangannya sebagai respons dari rasa sakit yang ia rasakan.
Setelah ditutup menggunakan plester, Ditto langsung beralih ke lutut Renata. Ia membasuhnya dengan air juga, kemudian meneteskan sedikit obat merah tanpa menutupnya dengan plester. Itu karena lutut Renata hanya lebam biru saja.
Setelah selesai, seketika Ditto melihat-lihat tubuh Renata untuk memeriksa apakah masih ada luka lainnya atau tidak. Untung saja Renata memakai sweater, jadi hanya telapak tangannya saja yang tergores. Dan meskipun ia memakai celana mini, untung saja hanya lututnya yang terbentur. Itu pun tidak sampai berdarah.
“Makasih ya!” ujar Renata merasa tidak enak hati.
“Sama-sama,” ujar Ditto meninggikan salah satu alisnya.
Ditto meminum sisa air mineral di botol pelasik tadi. Sementara Renata sejak tadi masih saja asyik memperhatikannya.
“Sebenarnya kamu mau ke mana?” Tanya Ditto tiba-tiba membuat Renata sedikit kaget, “a, aku cuma mau jalan-jalan aja,” Jawab Renata.
Ditto tersenyum, “Kamu mau menikmati matahari tenggelam?”
“Kok kamu tahu?” Kata Renata.
Kedua bibir Ditto memperlihatkan senyum yang semakin lebar, “Ternyata kamu memang tidak pernah berubah,” Jawab Ditto.
Mendengar hal tersebut Renata langsung memalingkan wajahnya seraya menghela nafas tanda sedikit kikuk.
Ditto tiba-tiba saja menarik pergelangan tangan kanan Renata mengajaknya berjalan seraya berkata, “Ayo ikut aku,”
Tentu saja Renata pun terkejut dibuatnya dan hampir saja terjatuh, “Aww...”
Ditto baru menyadari lutut Renata masih sakit dan belum bisa berjalan dengan normal. “Eh maaf-maaf. Aku lupa.”
Tawa pun sempat pecah diantara keduanya.
“Emangnya kita mau ke mana sih?” Tanya Renata yang tak dihiraukan oleh seorang Ditto.
Perhatian Ditto teralih ke sepeda Renata yang rantainya putus akibat kejadian tadi. Dirinya berinisiatif untuk memperbaikinya.
Agak lama Ditto mengotak-atik rantai sepeda tersebut. Sampai akhirnya dirinya berkata, “Selesai!” sambil menepuk-nepuk kedua telapak tangannya.
Lalu dirinya membersihkan kedua tangannya tersebut dengan sisa air mineral tadi juga menggunakan beberapa helai tisu. Kemudian Ditto langsung menaiki sepeda tersebut seraya menunjukkan ekspresi wajah yang seolah mengajak Renata agar ikut dengannya.
Dengan kaki yang terpincang-pincang, Renata pun akhirnya menghampiri Ditto. Merasa sudah paham maksud Ditto, ia segera duduk di kursi belakang sepeda.
Ditto meletakan selembar uang di atas meja panjang tadi. Kemudian dia mulai mengayuh sepedanya dengan pelan, “Makasih mbak!” Teriaknya.
Dia akan mengajak Renata pergi entah ke mana.
Suasana sore yang amat tenang. Angin pantai mengalun sejalan dengan kayuhan kaki Ditto membuat Renata merasa nyaman dan ia sangat menikmati suasana tersebut.
“Lihat Dit, Sunsetnya bagus banget!” Kata Renata sambil menunjuk senja dengan jari telunjuknya. Ditto hanya tersenyum ke arah Renata. Dirinya merasa berhasil karena telah membuat seorang Renata merasa senang.
Perjalanan yang cukup damai namun juga agak canggung bagi Renata. Karena Ditto sedari tadi hanya menunjukkan sikap diam namun santai dengan gaya khasnya yang sedikit dingin. Hal tersebut membuat Renata cukup tahu bahwa tidak ada yang berbuah dari Ditto yang selama ini ia kenal.
Ditto membelokkan sepedanya ke arah pantai. Ia membawa Renata menyusuri jalan di atas pasir pantai dengan suguhan sunset yang tampak memuncak indah. Kemudian kayuhan kakinya berhenti di salah satu tempat. Disana ada tumpukan batuan besar juga satu pohon yang tumbuh dengan hanya sedikit daun.
Ditto meminggirkan sepeda cokelat itu di pinggir bebatuan tadi. Lalu ia naik ke atas batunya dan juga membantu menarik Renata untuk ikut naik.
Mereka berdua duduk berdampingan di atas tumpukkan batu yang langsung disambut dengan cahaya jingga sunset yang sudah sedari tadi menyala sangat indah.
Ditto menatap sunset seperti menonton film di bioskop. Entah apa yang ia pikirkan, dirinya tampak fokus menikmati matahari yang akan tenggelam tersebut.
Renata tersenyum senang melihat sunset yang terasa berada sangat dekat dengannya. Kemudian ia menoleh ke arah peria di sampingnya. Ditto sepertinya masih tidak mau mengeluarkan suara sedikit pun. Itu membuat Renata aga bingung dan canggung.
Renata akhirnya memberanikan diri, “Dit, makasih ya! Tempatnya tenang dan nyaman banget,” Ujar Renata memulai perbincangan.
Bukannya menjawab, Ditto malah mengangkat telunjuk ke bibirnya. Ia meminta Renata untuk diam. Bahkan tanpa menoleh ke arah gadis cantik itu. Matanya terus saja fokus ke atas langit seolah matahari jingga itu adalah miliknya.
Renata pun mengerutkan bibirnya sedikit kesal. Akan tetapi tentunya Renata paham bahwa menikmati senja itu memang lebih baik jika tanpa suara.
Beberapa menit kemudian.
Sore telah menelan matahari dari langit dan menjadikan bumi gelap gulita, hingga mengundang sang malam untuk datang. Ditto beranjak dari tempat duduknya hingga kemudian ia meloncat dari bebatuan tadi, “Malam segera datang. Kalau kamu mau disini aja ya gak apa-apa, “ Sindirnya.
“Eh tunggu-tunggu,” sergah Renata sampai lupa bahwa kakinya masih terasa sakit jika digerakkan. Sontak Renata pun hampir terjatuh dan sedikit meringis kesakitan. Ditto langsung refleks membantu memegangi tangannya agak terkejut, “Eh eh,”
Keduanya pun sedikit melepas tawa di bawah langit yang sudah buram tanda malam akan segera tiba.
Ditto mengangkat tubuh kecil Renata dan membantunya duduk di tempat tumpangan belakang sepeda. Hari semakin gelap, mereka segera pergi dari tempat tersebut.
Karena hari masih sore dan malam baru saja datang, jadi mereka pergi ke tempat makan terlebih dahulu. Dan sudah bisa ditebak, suasana ketika sedang makan pun agak hening tanpa perbincangan.
Sepanjang waktu makan Ditto terlihat tak peduli dan bersikap cuek. Tapi terkadang dia agak menunjukkan sedikit senyuman manisnya kepada Renata seolah agak terpaksa. Sedangkan Renata terus saja memperhatikan setiap gerak gerik laki-laki yang sedang asyik menyantap makanan tersebut.
Setelah keduanya selesai makan. Mereka segera keluar dari restaurant karena malam sudah semakin gelap. “Jadi kamu mau dianter ke mana?” Tanya Ditto kepada Renata.
Renata pun memberi tahu dimana letak hotel tempatnya menginap. Hotelnya tidak terlalu jauh dari tempat yang tadi. Jadi Ditto pun bersedia untuk mengantarnya sampai di tempat tujuan.
Di perjalanan tiba-tiba suara ponsel berdering dari saku celana Ditto. Ditto berhenti mengayuh dan menengok ponsel hitam miliknya tersebut. Dirinya segera menjawab panggilan masuk yang entah dari siapa itu.
Ditto pergi menjauh dari Renata yang masih terpincang-pincang dengan wajah lelahnya. Renata hanya bisa memandangi Ditto dari kejauhan yang tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon.
Renata langsung teringat pada ponsel miliknya yang tadi sore berdering di dalam kantong sweater. Renata langsung meraba-raba kantong sweater, namun ia tak dapat menemukannya.
“Mmm... kamu pulang naik taksi aja. Aku ada urusan,” Tandas Ditto yang tanpa Renata sadari sudah ada di hadapannya.
“Aku udah pesan taksi online, sebentar lagi pasti datang. Aku gak akan pergi deh sampai taksinya datang.” Jelasnya.
Renata mengangguk tanda paham. Setelah taksinya datang Ditto langsung membantu Renata masuk ke dalam taksi. Dirinya kemudian memberikan sejumlah uang kepada sopir taksinya. Padahal hotelnya sudah dekat. Seharusnya tak perlu memesan taksi, pikir Renata.
Saat taksinya melaju. Renata menoleh ke arah belakang dan mendapati Ditto yang pergi membawa sepedanya dengan terburu-buru.
Malam sudah semakin larut. Untuk pertama kalinya Renata melupakan semua orang termasuk Gilang yang sudah pasti sedang mencemaskan dirinya.
Taksi pun berhenti di depan hotel. Renata keluar dari taksi dan berjalan masuk ke dalam hotel dengan kaki terpincang-pincang dan wajah yang kusut juga tampak lelah. Dirinya memasuki lift untuk menuju lantai tiga.
Ketika pintu lift baru saja terbuka, sudah terlihat sosok Gilang dengan wajah cemasnya. Di sisi kanannya terdengar tangisan dari ibu Renata yang terlihat mondar mandir khawatir. Rio adiknya pun ada disana.
“Renata!” Ujar Gilang yang melihat Renata lebih dulu. Dirinya langsung memeluk erat tubuh gadisnya tersebut.
Kemudian ibunya segera menghampiri dan langsung memeluk Renata setelah pelukan Gilang baru saja lepas beberapa detik lalu. “Kamu ke mana aja sih? Kami semua cemas,” tanya ibunya.
Kemudian giliran ayahnya yang memeluk tubuh Renata dengan jantung yang berdetak kencang, “Renata gak kenapa-kenapa kok pah,” Ujarnya menenangkan.
Semua orang memang kurang memahami perasaan dan sikap Renata yang penyendiri. Namun sudah dipastikan semuanya sangat menyayangi dirinya.
Komentar
Posting Komentar